Category Archives: Resensi

Kategori resensi buku Indonesia

Resensi Buku Kota di Djawa Tempo Doeloe

ISBN : 9789799108876
RILIS : Juni 2014
HALAMAN : 349 Halaman
PENERBIT : Kepustakaan Populer Gramedia
PENULIS : Olivier Johannes Raap

Kartu pos di masa kini bisa dikatakan kurang populer digunakan dan sudah sangat jarang ditemui. Alih-alih mengirim kartu pos untuk mengabarkan bahwa kita berada di sebuah kota  kini kita lebih suka memfoto dan mengirimnya langsung ke orang tertentu atau mengupload-nya di sosial media melalui smarphone kita.

Walau kini sudah jadi barang langka dan dilupakan orang namun kartu pos pernah mengalami masa-masa emas di seluruh pelosok dunia di akhir abad ke 19 hingga pertengahan abad ke 20. Saat itu kartu pos merupakan media korespondensi yang terpenting untuk kalangan yang bisa baca tulis.

Kartu pos generasi pertama di Indonesia lahir pada tahun 1874 oleh pos negara, yaitu pemerintahan Hindia Belanda. Awalnya kartu pos masih berbentuk selembar kartu tanpa gambar/foto. Lembar pertama untuk alamat penerima dengan perangko yang telah tercetak, sedangkan satu sisi lagi digunakan untuk menulis surat/pesan. Kartu pos bergambar sendiri baru terbit pada tahun 1900an. Di awal abad ke 20 gambar atau foto-foto yang ditampilkan tidak hanya berupa pemandangan alam tempat wisata  seperti yang tedapat di kartu-kartu pos modern melainkan menampilkan situasi kota, bangunan, dan khazanah kebudayaan lokal.

Seperti apa kartu-kartu pos di Indonesia tempo doeloe? bersyukur karena berkat ketekunan Olivier Johannes Raap, seorang  kolektor kartu pos lawas kelahiran Belanda, kartu-kartu pos itu tetap terlestarikan dengan baik dan kini bisa dinikmati oleh kita semua lewat beberapa bukunya yang telah terbit.

koleksi kartu pos oliv
(Koleksi kartu pos Olivier Johannes Raap)

Setelah menerbitkan dua buku yang menampilkan koleksi kartu2 posnya yaitu Pekerdja di Djawa Tempo Doeloe (Galang Press, Maret 2013) dan Soeka-Doeka di Djawa Tempo Doeloe (KPG, Oktober 2013) kini Olivier menerbitkan kembali sebuah buku  tentang kartu pos yang secara khusus menampilkan panorama dan  unsur-unsur kota-kota  di Jawa tempo doeloe (1900-an – 1950). Seperti di buku-buku sebelumnya, buku ini juga menyajikan foto-foto kartu pos disertai deskripsi yang detail pada tiap-tiap kartu posnya. Karena sebuah kota merupakan bagian dari catatan sejarah maka di bukunya yang terbaru ini penulis menyertakan data-data sejarah terkait foto dan kondisi terkini dari bangunan atau tempat yang terekam dalam kartu pos-kartu pos tersebut.

kota djawa -dlm2

Di bukunya ini, penulis membagi kartu-kartu posnya ke dalam 17 bab di mana di masing-masing bab diberi pengantar yang lugas, jernih dan sangat informatif bagi pembacanya

Sebagai sebuah buku yang menyajikan 277 lembar foto kartu pos dari 44 kota di Jawa diantaranya Batavia, Bandung, Surabaya (masing-masing diwakili oleh 20 kartu pos lebih), dll  buku ini dapat mewakili kondisi seperti apa panorama kota-kota di Jawa tempo doeloe.  Deskripsinya yang detail akan apa yang tergambar dalam tiap lembar kartu posnya plus muatan sejarahnya membuat buku ini dapat dikatakan sebagai sebuah buku sejarah populer yang menarik untuk dibaca oleh semua kalangan.

Hal-hal menarik, unik, dan menambah wawasan terungkap dalam buku ini, antara lain Jembatan besi pertama di Jawa di sungai Brantas – Kediri yang dibangun pada tahun 1855 yang hingga kini masih befungsi, pelabuhan Surabaya yang di masa itu diharapkan dalam mengungguli pelabuhan Singapura, gardu ronda yang menyediakan kendi untuk pejalan kaki, dll.  Ketika membahas bangunan kita akan diajak mengenal model-model bangunan tua baik di kota maupun di kampung baik dari segi arsitektur keseluruhan bangunan maupun dari kekhasan atap, bahan bangunan, dll. Di pembahasan mengenai jalan kita akan mengerti asal-usul penamaan jalan, persimpangan jalan, jalan-jalan pertokoan, dan sebagainya.

Dari segi penyajian fotonya karena seluruh halaman buku ini dicetak di atas kertas art paper yang mengkilat maka ratusan foto kartu pos lawas tersaji secara tajam dan sempurna. Ukuran buku yang agak besar dan foto tiap kartu pos yang sedikit besar dibanding kartu pos aslinya juga membuat pembaca bisa lebih detail menikmati foto-fotonya. Sayangnya ada beberapa foto kartu pos yang diperbesar hingga menyeberang halaman sehingga bagian yang terkena lipatan buku menjadi tidak bisa dilihat secara baik.

Akhir kata sebagai sebuah buku yang menyajikan panorama kota-kota di Jawa tempo doeloe plus deksripsinya buku ini akan membawa pembacanya memasuki mesin waktu untuk menyusuri kota-kota di Jawa di akhir abad ke 19 hingga pertengahan abad ke 20. Pemandangan kota yang indah, unsur-unsur pembentuk kota, toponimi, dan sejarah yang terungkap di buku ini tentunya akan menambah wawasan pembacanya akan sejarah dan budaya di tiap-tiap kota baik secara visual maupun naratif.

Melalui buku ini juga kita bisa melihat bagaimana bagian-bagian kota yang ada di buku ini telah hilang tergerus oleh arus modernisasi. Ada kehijauan dan keasrian yang hilang, bangunan-bangunan heritage yang dengan cita rasa arsitektural yang tinggi telah berganti wajah dengan bangunan modern dan sebagainya. Dengan membaca buku ini diharapkan generasi kini bisa lebih mencintai kotanya dengan berkaca dari masa lampau, memelihara unsur-unsur kota yang perlu dilestarikan, menghargai bangunan-bangunan tuanya dan memelihara kotanya agar tetap nyaman dan tertata dengan baik.

Akan sangat baik jika buku ini juga bisa diterbitkan dalam bahasa Inggris agar sejarah kota-kota di Indonesia masa lampau juga dapat dinikmati oleh orang-orang asing yang ingin mengenal kota-kota di Indonesia di masa lampau dengan cara yang menyenangkan.

@htanzil


Tertarik dengan buku Kota di Djawa Tempo Doeloe ini? Dapatkan buku ini di toko buku kesayangan kalian atau di toko buku online seperti Bukupedia.


Sumber Resensi Buku

Resensi Novel Girls in the Dark

ISBN : 9786027742314
Rilis : Mei 2014
Halaman : 279 Halaman
Penerbit : Penerbit Haru
Penulis : Akiyoshi Rikako

Manusia adalah mahluk yang mengejar barang yang tidak bisa dia dapatkan; baik itu cinta, kekuatan,maupun status sosial. Namun, sosok manusia yang mengejar semua itu dengan sepenuh hati, terlihat sangat bodoh, tapi di saat bersamaan, juga terlihat menyentuh. Kemudian kita juga mengejar pria; orang yang tulus menawan, karena kita tahu bahwa orang seperti itu hanyalah ilusi dan tidak nyata. (hlm. 152)

Salon sastra yang berada di bangunan terpisah dari kompleks sekolah ini adalah milik Klub Sastra. Tidak sembarang orang bisa bergabung. Hanya pilihan Shiraishi Itsumi, sang ketua klub yang berhak menentukan siapa saja yang pantas masuk ke klub tersebut.

Salon dalam artian bahasa Prancis adalah ruangan tempat orang berkumpul, biasanya untuk membicarakan hal-hal  seperti sastra atau kegiatan akademik lainnya. Salon milik klub sastra ini bisa dikategorikan mewah untuk ukuran klub sekolah. Ada karpet dan wallpaper yang berwarna lavendel, dan tirai gantung dari beledu hitam yang menghiasi jendela ala Prancis. Ada juga kabinet antik dengan kaki lengkung, dan sofa yang kainnya dipintal menjadi sebuah tapestry. Awalnya, bangunan ini adalah sebuah biara dengan gaya gothic yang kemudian dipadukan dengan kompleks sekolah kita dan dirombak agar tidak terlihat aneh.

Tempat ini tidak hanya cantik dan berkelas. Ada buku-buku yang terpilih di rak buku yang memenuhi dinding. Karena sekolah ini sekolah Katolik, di perpustakaan terdapat banyak buku agamawi dan buku-buku yang terlalu serius. Karena itu, di sini sengaja dikumpulkan berbagai jenis buku dan dokumen yang jarang ditemui di perpustakaan. Seperti sebuah perpustakaan pribadi yang kecil. Buku-buku ini adalah harta berharga milik klub satra ini.

Peralatan makanan dari merek-merek terkenal dan mahal seperti Ginori dan Wedgewood yang tertata rapi dalam kabinet. Perapian yang terbuat dari batu bata. Kemudian rak buku yang menutupi salah satu dindingnya. Buku-buku dari luar negeri pun tampak berjajar lengkap, membuat dinding itu seperti karya seni yang dipajang indah.

Saat musim dingin, mereka bisa meletakkan sofa di depan perapian untuk berbaring. Sambil berbaring, mereka memegang cangkir berisi cokelat panas di satu tangan sambil saling memberikan kritik terhadap novel yang ditulis masing-masing anggota. Saat musim panas, mereka bisa berdebat tentang sastra sambil meminum lemonade yang menyegarkan tenggorokan. Benar. Salon ini adalah kastel impian mereka, anggota Klub Sastra.

Sayangnya kesempurnaan itu luntur. Sang ketua, Shiraishi Itsumi tewas dan meningalkan tanda tanya. Di tangannya ada setangkai bunga Lily. Bunga inilah yang akan menjadi kunci dari kisahnya. Yang lebih mengejutkan lagi, salah satu di antara anggota Klub Sastra ini ternyata adalah pembunuhnya.

Penulisnya terlihat luas pengetahuannya akan buku-buku, simak saja dalam penggalan beberapa kalimat;

  1. Little House on the Prairie karya Wilder, Moby Dick karya Melville, dalam Anne of Green Gables juga banyak kue-kue yang kelihat enak bermunculan. Aku juga pernah mencoba membuat scone dan pie biji poppy yang muncul dalam serial Miss Marple karya Agatha Christie saat buku-buku itu menjadi tema pertemuan membaca. (hlm. 83)
  2. Saya menyalin novel-novel karya Akutagawa Ryunosuke atau Mishima Yukio untuk memperkaya kosakata. (hlm. 115)
  3. Dia mau mengerti dan memilih bahan bacaan yang gampang untukku; novel-novel karya Robin Cook dan Michael Cricton yang merupakan sastra kedokteran modern. (hlm. 150)
  4. Aku juga memilih novel dengan tema sensual seperti L’Amant (artinya Sang Pencipta) karya Duras sebagai bahan bacaan bersama. (hlm. 232)

Banyak kalimat favorit dalam buku ini:

  1. Tentu saja dibutuhkan keberanian untuk bertemu dengan orang yang sama sekali baru. (hlm. 50)
  2. Ada hal-hal yang tidak bisa dibicarakan karena sahabat. (hlm. 58)
  3. Justru karena sahabat mungkin ada yang tidak boleh dicampuri. (hlm. 64)
  4. Bukankah kita diajari supaya kita memaafkan orang yang bersalah pada kita? (hlm. 95)
  5. Bukankah kita harus mengasihi sesama? (hlm. 213)
  6. Pegang rahasia lawan dan jangan biarkan dia punya jalan keluar. (hlm. 237)
  7. Plagiarisme itu tidak bisa dimaafkan. (hlm. 239)
  8. Ada hal-hal yang tidak bisa dibeli dengan uang. (hlm. 239)
  9. Kita tidak boleh membunuh, termasuk membunuh diri sendiri. (hlm. 260)

Novel ini bernuansa kelam, hal ini juga di dukung dari sisi cover. Dari halaman pertama, kita langsung penasaran akan jalan ceritanya. Nantinya, setiap anggota Klub Sastra akan menceritakan lubuk hatinya dan di setiap akhir tulisan mereka akan menunjuk seseorang yang dianggap berpotensi menjadi pembunuh Shiraishi Itsumi.

Dari kisah Shiraishi Itsumi ini, ada banyak pelajaran hidup yang bisa kita petik. Kesempurnaan fisik seseorang belum tentu menandakan kesempurnaan jiwanya. Seseorang yang terlihat manis dari luar bisa jadi menyimpan racun kebencian dalam dirinya. Seseorang yang berlabel sahabat bisa berpotensi menjadi pengkhianat.


Tertarik dengan buku Girls in the Dark ini? Dapatkan buku ini di toko buku kesayangan kalian atau di toko buku online seperti Bukupedia.


Sumber Resensi Buku